Pesan itulah yang lebih kurang hendak disampaikan penulis novel sekaligus tokoh perubahan Indonesia, Ustadz Habiburrahman El Shirazy, melalui film Cinta Suci Zahrana berdasar novel terbarunya dengan judul serupa.
Pria yang selalu tampil tenang itu mengutarakan bahwa di sela-sela obsesi seseorang meraih cita-cita dan karir, sebaiknya orang tersebut juga memperhatikan keseimbangan secara keseluruhan, terutama terhadap kondisi masyarakat. Contoh, sebagaimana Zahrana dalam film yang diperankan Meyda Sefira, obsesinya dalam karir menimbulkan konflik keluarga dan masyarakat.
"Si perempuan itu mendapat penghargaan dari dalam dan luar negeri. Tapi terlambat dalam urusan jodoh. Jadi pandangan masyarakat belum tentu sesuai pilihannya itu," ungkapnya, di temui usai membedah bukunya itu.
Lebih detail, penulis buku Ketika Cinta Bertasbih, yang salah satu pemeran dalam filmnya juga melibatkan Meyda Sefira, itu menyampaikan, Zahrana berperan sebagai lulusan S3. Namun bagaimana memecahkan permasalahan jodoh ternyata tidak mudah. Demikian juga orang tuanya yang akhirnya begitu menginginkan putrinya itu segera menikah, juga kesulitan mencarikan jodoh. Konflik itu menjadi contoh bagi kawula muda, sebagai sasarannya, agar selalu berkomunikasi dengan orang tua.
Ketidakseimbangan yang terjadi akan sulit dipecahkan ketika dari awal tidak dikomunikasikan dan menyesuaikan dengan orang tua atau masyarakat. Terlebih, sebagaimana sunah Rasullulah (mohon koreksi), dalam mencari jodoh harus yang berakhlak baik, dan agama baik. Bagaimana gambaran pemecahan masalah itu, tentu selengkapnya termuat dalam penayangan film yang secara serentak berlangsung pada 15 Agustus 2012.
Nampaknya isu yang diketengahkan si penulis cukup serius meski sederhana. Namun, menurut Habiburrahman El Shirazy, film yang disutradarai Chaerul Umam tersebut merupakan perpaduan antara romans, komedi, dan bahkan mengandung kritik sosial. Kritik sosial yang dimaksud, yaitu melalui penokohan seorang dekan yang berakhlak tidak baik dalam film itu. Penokohan itu secara halus dan terkesan berbau komedi, untuk menyindir kondisi para pejabat di Indonesia baru-baru ini.
"Yang jelas di dalamnya banyak pesan-pesan agama, yang dapat ditangkap secara tidak terasa, mengalir mengikuti alur filmnya," tuturnya.
Film berdurasi 108 menit itu garis besarnya dituturkan secara interaktif. Dia menuturkan, kisah yang disampaikan cukup relevan karena ketika seorang perempuan menjadi perawan tua gara-gara terobsesi karir, pada akhirnya juga orang tua yang menanggungnya. Bukan tidak mungkin orang tua akan sakit. "Seperti dibahas, pilihan itu boleh asal dikomunikasikan, karena orang tua pasti menginginkan ada generasi" ujarnya. (*)
0 komentar :
Posting Komentar